Din Hikmah. Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Hakikat Fitrah Manusia

Hakikat Fitrah Manusia

Written By Din Hikmah on Rabu, 04 April 2012 | 10:19



Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansyaa digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan.

Kata fitrah disebut dalam al-Qur’an, s. Ar-Rum/ 30 : 30.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.
“ Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi”
(Al-Qur’an. S. Al-Am’am / 6 : 79)

“Apabila langit terbelah”
(Al-Qur’an. S. Al-Infitar/ 82 : 1)

“Langit (pun) menjadi pecah belah pada hari itu karena Allah. Adalah janji-Nya itu pasti terlaksana”.
(Al-Qur’an, s. Al-Muzzammil/ 73:18).

Dalam bahasa Arab, Fitrah (fitrah) dengan segala bentuk derivasinya mempunyai arti belahan (syiqah), muncul (thulu’), kejadian (al ibtida’), dan penciptaan (khalqun). “Sifat pembawaan yang sejak lahir”
Lafal fitrah dengan berbagai bentuk derivasinya , banyak disebut dalam al-Qur’an, misalnya dalam ayat di atas, yang dalam konteks ini berarti al-khalq dan al-ibtida. Al-khalq itu sendiri identik dengan al-bitida’ (yang memiliki arti menciptakan sesuatu tanpa contoh). Hanya saja yang menyebutkannya dalam bentuk ini (fitrah), yakni yang mengikuti pola fi’lah, hanya satu ayat terdapat dalam al-Qur’an, s. Ar-Ruum/ 30 : 30.

Lafal fitrah yang berkaitan dengan keadaan manusia dan hubungan keadaan tersebut dengan agama, yakni yang disebutkan dalam al-Qur’an, s. Ar-Ruum/ 30:30 : “Fitrah Allah yang menceritakan manusia menurut fitrah itu”, mengandung arti keadaan yang dengan itu manusia diciptakan. Artinya Allah telah menciptakan manusia dengan keadaan tertentu, yang di dalamnya terdapat kekhususan-kekhususan yang ditetapkan Allah dalam dirinya saat dia diciptakan, dan keadaan itulah yang menjadi fitrahnya.

Pengertian-pengertian lain dapat didekati dengan memenggal beberapa kalimat kunci pada ayat tersebut. “Fa aqim wajhaka liddini hanifan” Al-Kurtubi mengartikan bentuk amr dalam ayat tersebut sebagai petintah untuk mengikuti agama yang lurus.
Dengan memperhatikan sistem di atas, maka dapat ditangkap bahwa kalimat amr di atas menggambarkan perintah Allah kepada segenap manusia agar beusaha menghadapkan diri (jiwa-raga) kepada ketentuan-ketentuan Allah yang terangkum dalam istilah agama (din) agar mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan. Peringatan semacam ini juga mengisyaratkan bahwa pada diri manusia telah ada benih-benih (potensi-potensi) kekuatan yang dapat menyampaikannya pada penegakkan ketentuan-ketentuan Allah tersebut dalam hidupnya

Menurut at-Thabari kalimat “fitratallaha” ini merupakan masdhar kalimat “fa aqim wajhaka”, sebab bermakna bahwa Allah telah menciptakan penjelasan terhadap kalimat sebelumnya serta memberi pengertian tentang apa yang dimaksud “al-Diin Haniif”.

Berdasarkan kalimat ini dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud al Diin Haniif adalah sifat dasar dan sifat bawaan sebagai dasar penciptaan manusia untuk sampai pada pengenalan dan keyakinan terhadap ke-Esaan Allah. Dengan kata lain kecenderungan terhadap agama tauhid merupakan potensi dasar dari penciptaan manusia. Hal ini selaras dengan penciptaan manusia sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, s. al-Dzariyat  51 : ayat 56 :

 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.

Dengan penjelasan-penjelsan seperti itu, maka jelaslah kiranya bahwa pengenalan dan peng-Esaan Allah adalah potensi dasar yang telah dimiliki manusia yang memungkinnya untuk dapat bersikap dan bertindak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah. Dengan kata lain manusia dapat menjadi seorang mukmin, muslim dan muhsin sejati karena memiliki potensi untuk itu.

Pengertian itu pun secara lebih rinci ditegaskan dalam al-Qur’an ,Surat. al-'Araf/ 7: 172 :
“Dan (ingatlah), ketika Tuhan-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “ Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul (Enkau Tuhan kami). Kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari qiamat kamu tidak mengatakan : “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Tuhan)”.

Berdasarkan ayat ini Allah menegaskan bahwa Dia telah bertransaksi (mengadakan perjanjian) dengan manusia agar menjadikan-Nya sebagai llah dan sembahannya, dan inilah sifat dasar penciptaan yang dimiliki manusia sejak lahir atau bahkan sebelum lahir. Tabiat ini merupakan tabiat bawaannya. Berdasarkan ayat ini dapat ditangkap pengertian bahwa tauhidullah telah dimilki manusia secara potensial.

Islam yang artinya “tunduk” , “berserah diri” dan “damai” menurut al-Qur’an adalah agama yang benar bagi manusia, karena sesuai dengan fitrah kejadian manusia. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pada hakekatnya anak itu dilahirkan kejadian manusia. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pada hakekatnya anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (kondisi yang suci):

“Tidak ada seorang bayipun dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (yang suci). Maka orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi. Nasrani atau Majusi”.

Pada hakekatnya, hadits tersebut tidak hanya terfokus pada gerakan penyahudian, penasranian, dan majusisasi, tetapi lebih luas lagi yaitu menyangkut seluruh gerakan yang memungkinkan anak membelot dari fitrahnya yang suci.

Dalam al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Al-Atsir yang dinukil oleh Murtadha Muththahhari dalam kitabnya, “fitrah” dikemukakan bahwa ketika mengemukakan hadits yang berbunyi . “Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah”, Ibnu Al-Atsir memberikan komentar sebagai berikut : Al-Fathr berarti menciptakan dan menjadikan (al-ibtida’ wa al-ikhtiara), dan fitrah merupakan keadaan yang dihasilkan dari penciptaan itu. Yakni, menciptakan sesuatu dalam wujud yang baru sama sekali, yang merupakan kebalikan dari “membuat sesuatu dengan mengikuti contoh sebelumnya”

Allah adalah Al-Fath. Dia adalah al-Mukhtar (yang menciptakan tanpa contoh), sedangkan manusia adalah al-taqlidi (membuat sesuatu dengan mengikuti contoh). Manusia hanyalah mengikuti, bahkan disaat ia membuat sesuatu yang baru sekalipun. Sebab hasil dari kreasinya pasti mengandung unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya.
Di dalam al-Qur’an terdapat tiga lafadz yang maknanya berkaitan dengan agama (ad-din) seperti yang terdapat dalam al-Qur’an, s. Ar-ruum/ 30:30: “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu”, yaitu al-fithrah, ash-shibghah, dan  al-haniif.

Ketiga lafadz tersebut digunakan dengan arti agama (ad-din) atau ihwal beragama (at-tadayyun). Dalam al-Qur’an, Surat. Al-Baqarah  2: 138 :

“Shibghah (celupan) Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghah-nya dari pada shibghah Allah?’.

Lafadz shibghah dalam ayat di atas mengikuti pola fi’lah. Di antara derivatnya adalah ash-shabgh, ash-shabbagh, dan ash-shibghah, yang berarti sejenis pencelupan warna (at-talwin). Yang dimaksud dengan shibghah Allah ialah pemberian warna dengan cara pencelupan yang dilakukan oleh Allah. Sedangkan pemberian warna yang pertama kali dilakukan Allah terhadap manusia adalah “pemberian warna agama”. Ia merupakan warna ketuhanan yang diberikan oleh Allah saat pertama kali manusia diciptakan.

Di dalam al-Qur’an, Surat. Ali-Imran 3 : 67 :

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani. Akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi berserah diri”.

Dengan demikian, yang disebut dengan shibghah adalah shibghah Allah, dan siapakah yang paling baik shibghahnya selain shibghah Allah?. Al-Qur’an, Surat.Ali Imran 3:67:

Kata hanif berasal dari kata kerja hanafa, yahnifu dan masdarnya haniifan, artinya condong, atau cenderung dan kata bendanya kecenderungan. Tetapi di dalam al-Qur’an, yang dimaksud adalah “kecenderungan kepada yang benar”. Arti yang spesifik dari kata haniif ini diberikan The Holy Qur’an, karya Hadrat Mirza Nazir Ahmad yang merujuk kepada beberapa sumber;  orang yang meninggalkan atau menjauhi kesalahan dan mengarahkan dirinya kepada petunjuk;  orang yang secara terus menerus mengikuti kepercayaan yang benar tanpa keinginan untuk berpaling dari padanya;  seseorang yang cenderung menata perilakunya secara sempurna menurut Islam dan terus menerus mempertahankannya secara teguh; seseorang yang mengikuti agama Ibrahim; dan  yang percaya kepada seluruh Nabi-nabi. Keterangan tersebut ditujukan kepada Al-Qur’an, Surat. al-Baqarah 2:135:

“Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi dan Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk. Katakanlah: “Tidak. Kami mengikuti ajaran Ibrahim yang lurus (hanif). Bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan musyrik.”

Kata haniif diterjemahkan dengan “lurus”. Tetapi kata lurus di situ agaknya memerlukan penjelasan. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar-nya berkata : Agama Ibrahim adalah agama yang lurus. Demikian kita artikan kata haniif. Kadang-kadang diartikan orang juga condong, sebab kalimat itupun mengandung arti condong. Maksudnya satu lurus menuju Tuhan atau condong hanya kepada Tuhan. Tidak membelok kepada yang lain. Sebab itu di dalamnya terkandung juga makna tauhid.

Dalam konteks ayat tersebut, lurus maksudnya adalah, pertama tidak mengikuti ajaran Yahudi maupun Nasrani, dan kedua, tidak menganut politeisme atau menyembah berhala yang pada waktu itu berlaku di berbagai kalangan masyarakat, termasuk di antara orang-orang Arab.

Misi yang dibawa Raulullah SAW. Adalah menegakkan masyarakat baru berdasarkan kepercayaan tauhid atau pengesaan Tuhan sebagaimana diajarkan oleh Nabi Ibrahim dan nabi-nabi lainnya.

Tujuan yang lebih luas dari seruan kepada tauhid itu tercantum dalam surat al-Bayyinah, khususnya ayat 5, yang dalam hal ini berkaitan dengan hanif.
“Dan mereka tidak disuruh selain untuk mengabdi (hanya) kepada Allah (saja), dengan ikhlas dan patuh kepada-Nya, dengan lurus (hanif), dan supaya menegakkan shalat dan membayar zakat (untuk membersihkan harta benda), dan itulah agama yang kuat dasar-dasarnya”.


Selain condong kepada Allah, sebagai suatu kecenderungan yang benar, hanif dalam ayat tersebut dikaitkan dengan konsekuensi tindakannya, pertama berdimensi horizontal, yaitu dengan membersihkan pendapatan dan kedua kekayaan untuk kepentingan sesama manusia, sebagai perwujudan dari solidaritas sosial.

Berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, dalam diri manusia terdapat berbagai macam fitrah, antara lain adalah fitrah agama, fitrah suci, fitrah berakhlak, fitrah kebenaran, fitrah estetika, fitrah kreasi (menemukan sesuatu yang baru).
Tapi akan kami bahas dalam Artikel selanjutnya.

Kiranya sedikit yang kami sampaikan semoga bermanfaat
JANGAN LUPA SEDEKAH






  • Ibnu Manzur, Lisanul Arab, Jilid v, h. 3442 - 3435

  • Al Raghib al Isfahani, Mu’jam Mufradat Li Alfazh al Quran, Dar al Fikri, Beirut, h. 396

  • Murtadhaa Muthahhari

  • Ibid

  • Shahih Bukhari, Kitab tafsir Quran, Daar al Fikri, Beirut, 1994, Jilid III, h. 177-178




( Din Muhammad 'ilyas )









Share this article :

Posting Komentar

isi komentar anda dengan bijak

 
Support : Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Copyright © 2011. DinHikmah - Media Online Islam Pemersatu Ummat - All Rights Reserved
Template Modify by Din Hikmah