Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata
khalaqa dan ansyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan
ansyaa digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu
yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar yang perlu
penyempurnaan.
Kata fitrah disebut dalam al-Qur’an, s. Ar-Rum/ 30 : 30.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.
“ Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi”.
(Al-Qur’an. S. Al-Am’am / 6 : 79)
“Apabila langit terbelah”.
(Al-Qur’an. S. Al-Infitar/ 82 :
1)
“Langit (pun) menjadi pecah belah pada hari itu karena
Allah. Adalah janji-Nya itu pasti terlaksana”.
(Al-Qur’an, s. Al-Muzzammil/
73:18).
Dalam bahasa Arab, Fitrah (fitrah) dengan segala bentuk
derivasinya mempunyai arti belahan (syiqah), muncul (thulu’), kejadian (al
ibtida’), dan penciptaan (khalqun). “Sifat pembawaan yang sejak lahir”.
Lafal fitrah dengan berbagai bentuk derivasinya , banyak
disebut dalam al-Qur’an, misalnya dalam ayat di atas, yang dalam konteks ini
berarti al-khalq dan al-ibtida. Al-khalq itu sendiri identik dengan al-bitida’
(yang memiliki arti menciptakan sesuatu tanpa contoh). Hanya saja yang
menyebutkannya dalam bentuk ini (fitrah), yakni yang mengikuti pola fi’lah,
hanya satu ayat terdapat dalam al-Qur’an, s. Ar-Ruum/ 30 : 30.
Lafal fitrah yang berkaitan dengan keadaan manusia dan
hubungan keadaan tersebut dengan agama, yakni yang disebutkan dalam al-Qur’an,
s. Ar-Ruum/ 30:30 : “Fitrah Allah yang menceritakan manusia menurut fitrah
itu”, mengandung arti keadaan yang dengan itu manusia diciptakan. Artinya Allah
telah menciptakan manusia dengan keadaan tertentu, yang di dalamnya terdapat
kekhususan-kekhususan yang ditetapkan Allah dalam dirinya saat dia diciptakan,
dan keadaan itulah yang menjadi fitrahnya.
Pengertian-pengertian lain dapat didekati dengan memenggal
beberapa kalimat kunci pada ayat tersebut. “Fa aqim wajhaka liddini hanifan”
Al-Kurtubi mengartikan bentuk amr dalam ayat tersebut sebagai petintah untuk
mengikuti agama yang lurus.
Dengan memperhatikan sistem di atas, maka dapat ditangkap
bahwa kalimat amr di atas menggambarkan perintah Allah kepada segenap manusia
agar beusaha menghadapkan diri (jiwa-raga) kepada ketentuan-ketentuan Allah
yang terangkum dalam istilah agama (din) agar mendapatkan kebahagiaan dan
keselamatan. Peringatan semacam ini juga mengisyaratkan bahwa pada diri manusia
telah ada benih-benih (potensi-potensi) kekuatan yang dapat menyampaikannya
pada penegakkan ketentuan-ketentuan Allah tersebut dalam hidupnya
Menurut at-Thabari kalimat “fitratallaha” ini merupakan
masdhar kalimat “fa aqim wajhaka”, sebab bermakna bahwa Allah telah menciptakan
penjelasan terhadap kalimat sebelumnya serta memberi pengertian tentang apa
yang dimaksud “al-Diin Haniif”.
Berdasarkan kalimat ini dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud
al Diin Haniif adalah sifat dasar dan sifat bawaan sebagai dasar penciptaan
manusia untuk sampai pada pengenalan dan keyakinan terhadap ke-Esaan Allah.
Dengan kata lain kecenderungan terhadap agama tauhid merupakan potensi dasar
dari penciptaan manusia. Hal ini selaras dengan penciptaan manusia sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur’an, s. al-Dzariyat 51 : ayat 56 :
Dengan penjelasan-penjelsan seperti itu, maka jelaslah
kiranya bahwa pengenalan dan peng-Esaan Allah adalah potensi dasar yang telah
dimiliki manusia yang memungkinnya untuk dapat bersikap dan bertindak sesuai
dengan ketentuan-ketentuan Allah. Dengan kata lain manusia dapat menjadi
seorang mukmin, muslim dan muhsin sejati karena memiliki potensi untuk itu.
Pengertian itu pun secara lebih rinci ditegaskan dalam
al-Qur’an ,Surat. al-'Araf/ 7: 172 :
“Dan (ingatlah), ketika Tuhan-mu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman) : “ Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab :
“Betul (Enkau Tuhan kami). Kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari qiamat kamu tidak mengatakan : “Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Tuhan)”.
Berdasarkan ayat ini Allah menegaskan bahwa Dia telah
bertransaksi (mengadakan perjanjian) dengan manusia agar menjadikan-Nya sebagai
llah dan sembahannya, dan inilah sifat dasar penciptaan yang dimiliki manusia
sejak lahir atau bahkan sebelum lahir. Tabiat ini merupakan tabiat bawaannya.
Berdasarkan ayat ini dapat ditangkap pengertian bahwa tauhidullah telah dimilki
manusia secara potensial.
Islam yang artinya “tunduk” , “berserah diri” dan “damai”
menurut al-Qur’an adalah agama yang benar bagi manusia, karena sesuai dengan
fitrah kejadian manusia. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pada hakekatnya
anak itu dilahirkan kejadian manusia. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pada
hakekatnya anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (kondisi yang suci):
“Tidak ada seorang bayipun dilahirkan kecuali dalam keadaan
fitrah (yang suci). Maka orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi.
Nasrani atau Majusi”.
Pada hakekatnya, hadits tersebut tidak hanya terfokus pada
gerakan penyahudian, penasranian, dan majusisasi, tetapi lebih luas lagi yaitu
menyangkut seluruh gerakan yang memungkinkan anak membelot dari fitrahnya yang
suci.
Dalam al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Al-Atsir yang
dinukil oleh Murtadha Muththahhari dalam kitabnya, “fitrah” dikemukakan bahwa
ketika mengemukakan hadits yang berbunyi . “Setiap bayi yang dilahirkan dalam
keadaan fitrah”, Ibnu Al-Atsir memberikan komentar sebagai berikut : Al-Fathr
berarti menciptakan dan menjadikan (al-ibtida’ wa al-ikhtiara), dan fitrah
merupakan keadaan yang dihasilkan dari penciptaan itu. Yakni, menciptakan
sesuatu dalam wujud yang baru sama sekali, yang merupakan kebalikan dari
“membuat sesuatu dengan mengikuti contoh sebelumnya”.
Allah adalah Al-Fath. Dia
adalah al-Mukhtar (yang menciptakan tanpa contoh), sedangkan manusia adalah
al-taqlidi (membuat sesuatu dengan mengikuti contoh). Manusia hanyalah
mengikuti, bahkan disaat ia membuat sesuatu yang baru sekalipun. Sebab hasil
dari kreasinya pasti mengandung unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya.
Di dalam al-Qur’an terdapat tiga lafadz yang maknanya
berkaitan dengan agama (ad-din) seperti yang terdapat dalam al-Qur’an, s.
Ar-ruum/ 30:30: “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu”, yaitu al-fithrah, ash-shibghah, dan al-haniif.
Ketiga lafadz tersebut digunakan dengan arti agama (ad-din)
atau ihwal beragama (at-tadayyun). Dalam al-Qur’an, Surat. Al-Baqarah 2: 138 :
“Shibghah (celupan) Allah, dan siapakah yang lebih baik
shibghah-nya dari pada shibghah Allah?’.
Lafadz shibghah dalam ayat di atas mengikuti pola fi’lah. Di
antara derivatnya adalah ash-shabgh, ash-shabbagh, dan ash-shibghah, yang
berarti sejenis pencelupan warna (at-talwin). Yang dimaksud dengan shibghah
Allah ialah pemberian warna dengan cara pencelupan yang dilakukan oleh Allah.
Sedangkan pemberian warna yang pertama kali dilakukan Allah terhadap manusia
adalah “pemberian warna agama”. Ia merupakan warna ketuhanan yang diberikan
oleh Allah saat pertama kali manusia diciptakan.
Di dalam al-Qur’an, Surat. Ali-Imran 3 : 67 :
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang
Nasrani. Akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi berserah diri”.
Dengan demikian, yang disebut dengan shibghah adalah
shibghah Allah, dan siapakah yang paling baik shibghahnya selain shibghah
Allah?. Al-Qur’an, Surat.Ali Imran 3:67:
Kata hanif berasal dari kata kerja hanafa, yahnifu dan
masdarnya haniifan, artinya condong, atau cenderung dan kata bendanya
kecenderungan. Tetapi di dalam al-Qur’an, yang dimaksud adalah “kecenderungan
kepada yang benar”. Arti yang spesifik dari kata haniif ini diberikan The Holy
Qur’an, karya Hadrat Mirza Nazir Ahmad yang merujuk kepada beberapa sumber; orang yang meninggalkan atau menjauhi kesalahan dan mengarahkan dirinya kepada
petunjuk; orang yang secara terus menerus mengikuti kepercayaan yang benar
tanpa keinginan untuk berpaling dari padanya; seseorang yang cenderung
menata perilakunya secara sempurna menurut Islam dan terus menerus
mempertahankannya secara teguh; seseorang yang mengikuti agama Ibrahim; dan yang percaya kepada seluruh Nabi-nabi. Keterangan tersebut ditujukan
kepada Al-Qur’an, Surat. al-Baqarah 2:135:
“Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama
Yahudi dan Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk. Katakanlah: “Tidak. Kami
mengikuti ajaran Ibrahim yang lurus (hanif). Bukanlah dia (Ibrahim) dari
golongan musyrik.”
Kata haniif diterjemahkan dengan “lurus”. Tetapi kata lurus
di situ agaknya memerlukan penjelasan. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar-nya berkata
: Agama Ibrahim adalah agama yang lurus. Demikian kita artikan kata haniif.
Kadang-kadang diartikan orang juga condong, sebab kalimat itupun mengandung
arti condong. Maksudnya satu lurus menuju Tuhan atau condong hanya kepada
Tuhan. Tidak membelok kepada yang lain. Sebab itu di dalamnya terkandung juga makna
tauhid.
Dalam konteks ayat tersebut, lurus maksudnya adalah, pertama
tidak mengikuti ajaran Yahudi maupun Nasrani, dan kedua, tidak menganut
politeisme atau menyembah berhala yang pada waktu itu berlaku di berbagai
kalangan masyarakat, termasuk di antara orang-orang Arab.
Misi yang dibawa Raulullah SAW. Adalah menegakkan masyarakat
baru berdasarkan kepercayaan tauhid atau pengesaan Tuhan sebagaimana diajarkan
oleh Nabi Ibrahim dan nabi-nabi lainnya.
Tujuan yang lebih luas dari seruan kepada tauhid itu
tercantum dalam surat al-Bayyinah, khususnya ayat 5, yang dalam hal ini
berkaitan dengan hanif.
“Dan mereka tidak disuruh selain untuk mengabdi (hanya)
kepada Allah (saja), dengan ikhlas dan patuh kepada-Nya, dengan lurus (hanif),
dan supaya menegakkan shalat dan membayar zakat (untuk membersihkan harta
benda), dan itulah agama yang kuat dasar-dasarnya”.
Selain condong kepada Allah, sebagai suatu kecenderungan
yang benar, hanif dalam ayat tersebut dikaitkan dengan konsekuensi tindakannya,
pertama berdimensi horizontal, yaitu dengan membersihkan pendapatan dan kedua
kekayaan untuk kepentingan sesama manusia, sebagai perwujudan dari solidaritas
sosial.
Berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, dalam diri manusia
terdapat berbagai macam fitrah, antara lain adalah fitrah agama, fitrah suci,
fitrah berakhlak, fitrah kebenaran, fitrah estetika, fitrah kreasi (menemukan
sesuatu yang baru).
Tapi akan kami bahas dalam Artikel selanjutnya.
Kiranya sedikit yang kami sampaikan semoga bermanfaat
JANGAN LUPA SEDEKAH
- Ibnu Manzur, Lisanul Arab, Jilid v, h. 3442 - 3435
- Al Raghib al Isfahani, Mu’jam Mufradat Li Alfazh al Quran, Dar al Fikri, Beirut, h. 396
- Murtadhaa Muthahhari
- Ibid
- Shahih Bukhari, Kitab tafsir Quran, Daar al Fikri, Beirut, 1994, Jilid III, h. 177-178
( Din Muhammad 'ilyas )
Posting Komentar
isi komentar anda dengan bijak