Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah Sang Penguasa alam semesta,Kami panjatkan segala puji padaNya dan kami meminta pertolonganNya. Seraya memohon ampun dan meminta perlindunganNya dari segala keburukan jiwa kami dan dari kejelekan amaliah kami. Barangsiapa yang telah Allah tunjukkan jalan baginya, maka tiada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang telah Allah sesatkan jalannya, maka tiada yang bisa memberinya petunjuk. Ya Allah limpahkanlah Shalawat dan salam bagi Nabi dan Rasul termulia kami Muhammad Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam berserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, semuanya.
Amin Amin Ya Robbal Allamin..
Pada kesempatan ini saya akan memberikan sedikit pemahaman yg diminta sahabat,tentang gigitlah AsSunnah dengan gigi geraham (berpegang teguhlah padanya) berdasarkan pemahaman pemimpin ijtihad.
semua ini saya ambil dari berbagai sumber termasuk Kitab-Kitab yg dimiliki Abah saya,semoga bermanfaat..
IJTIHAD MERUPAKAN SUMBER HUKUM KE TIGA SETELAH ALQURAN DAN ASSUNNAH
IJTIHAD dlm pengertian bahasa global nya yang berarti "Mencurahkan segala kemampuan untuk sampai pada satu urusan dari beberapa urusan atau satu pekerjaan dari beberapa pekerjaan".
Dan menurut Istilah Ulama Ushul berarti: "Mencurahkan segenap kemampuan untuk memperoleh hukum syara dengan jalan melakukan penelitian / kesimpulan dari Kitab dan Sunnah". atau "Mencurahkan segala kesungguhan dan segala upaya baik dalam mengeluarkan hukum - hukum syara ( dengan jalan penelitian) maupun dalam pengaflikasiannya".
Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa Ijtihad itu; ada Ijtihad dalam mengeluarkan hukum ( ijtihad fi akhrij ahkam) dan Ijtihad dalam nenerapkan hukum (Ijtihad fi tathbiq ahkam).
Lingkup Ijtihad
Apabila peristiwa yang hendak ditetapkan hukumnya itu telah ditunjukan oleh dalil yang qath'i, maka tidak ada jalan untuk melakukan ijtihad.
Dalam hal seperti ini melakukan apa yang ditunjukan oleh Nash Qath'i. Lingkup yang dilakukan ijtihad itu:
A. Peristiwa yang ditunjukan oleh nash yang zhanniyul wurud ( hadits-hadits ahad), dan zhanniyu al-dalalah ( Nash Alquran dan al-Hadits yang masih dapat ditafsirkan dan dita'wilkan).
B. Peristiwa yang tidak ada nashnya sama sekali. Ini dapat dilakukan dengan; Qiyas, Istihsan, Istishab, Urf dll.
Ijtihad pada masa Rasul saw. dan Khulafa Rasyidin:
Di antara ijtihad yang dilakukan Rasulullah SAW. adalah, tentang tawanan perang Badar. Dalam sidang Umar mengusulkan agar tawanan perang Badar itu dibunuh saja. Sementara Abu Bakar mengusulkan agar mereka menebus diri dan Rasul menerima uang tebusan. Dari dua pendapat itu, Rasulullah menetapkan pendapat Abu Bakar, yakni menerima tebusan.
Di antara ijtihad para Shahabat ialah :
A. Ijtihad Abu Bakar. Ijtihad Abu Bakar dalam hal orang yang membangkang membayar zakat, Ia berpendapat bahwa orang yang membangkang membayar zakat harus diperangi sampai mau membayar zakat. Ijtihad Abu Bakar tentang usulan Umar bin Khatab untuk memushhapkan Alquran, karena hawatir para Qa'ri banyak yang meninggal. Lalu setelah menemukan kata sepakat, dibentuk panitia yang terdiri dari para Qa'ri, hafizh Alquran, penulis wahyu, antara lain Zaid bin Tsabit.
B. Ijtiha Umar r.a. Pada masa Umar r.a. pernah terjadi kelaparan, dan akibatnya terjadi pula pencurian. Atas keadaan yang demikian itu Umar r.a. tidak menghukumnya dengan potong tangan, karena ia berpendapat bahwa kemaslahatan yang diharapkan akibat pemberian hukum, tidak bakal terrealisir beserta adanya bencana kelaparan yang menyeret manusia kepada makan secara tidak halal.
Ijtihad Fardi dan ijtihad jama'i
Ditinjau dari subyek yang melakukan ijtihad, maka ijtihad terbagi pada :
A. Ijtihad Fardi, yaitu ijtihad yang dilakukan secara perorangan.
Adanya ijtihad fardi ini dapat ditunjukan dengan beberapa alasan, antara lain:
1. Rasulullah dapat membenarkan dan dapat menerima jawaban Muadz bin Jabal saat ditanya Rasulullah jika dihadapkan kepadanya suatu permasalahan, dan tidak ditemukan dalam Alquran dan As-Sunnah. Muadz menjawab: "akau akan berijtihad dengan fikiranku, dan aku tidak akan meninggalkannya".
2. Intruksi Umar bin Khatab kepada Abu Musa Al-Asy'ari yang memerintahkan agar menggunakan Ijtihad dengan Qiyas. Gunakan pemahaman yang mendalam dalam masalah yang menggagapkan hatimu, yang tidak terdapat dalam Alquran dan As-Sunnah. Cari kemiripannya dan keserupaannnya dan kemudian Qiyaskan perkara-perkara itu sewaktu menemukannya.
Demikian juga pesan Umar kepada Qadhi Suraih: "Apa yang tidak jelas bagimu terdapat dalam As-Sunnah maka curahkanlah fikiranmu (berijtihad)".
3. Dalam kaitannya dengan ahli warits yang ditinggalkan oleh yang mati, terdiri dari Kakek bersama saudara, Abu Bakar, Umar dan Ibnu Abbas menetapkan bahwa saudara terhijab oleh kakek. Sedang menurut Zaid dan Ibnu Mas'ud Kakek bermuqasamah ( membagi sama) dengan Saudara. Di sini kakek tidak menghijab saudara.
B. Ijtihad Jama'i, yaitu Ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok orang.
Dalam Ijtihad ini tentu tidak hanya ahli hukum Islam yang harus hadir, tapi juga orang yang ahli dibidang yang terkait dengan hukum yang akan diijtihadkan.
Di sini adanya persetujuan dari para mujtahid terhadap masalah. Alasan adanya ijtihad jama'i ini, jawaban Rasulullah terhadap Ali bin Abi Thalib yang bertanya, Apa yang harus dilakukan dan dijadikan dasar jika perkara tidak ditemukan dalam Alquran dan As-Sunnah ?, maka Rasulullah menyuruh agar dimusyawarahkan dengan ahlinya.
Ya Rasulallah ! perkara datang kepadaku yang Alquran tidak menurunkan ketentuannya, dan tidak ada Sunnah dari Tuan ? Ia menjawab : Kumpulkan orang-orang 'Alim (atau ahli ibadah) dari orang-orang mu'min, lalu bermusyawarahlah di antara kamu dan jangan kamu putuskan dengan pendapat salah seorang.
Contoh yang menunjukan adanya ijtihad jama'i ini:
1. Kesepakatan para shahabat atas tindakan Abu Bakar r.a. memerangi pembangkang membayar zakat, setelah terjadi pertukaran pendapat di antara mereka.
2. Kesepakatan para shahabat atas saran Umar r.a untuk menulis mushhaf Alquran, yang sebelumnya Abu bakar merasa keberatan karena melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah SAW.
3. Kesepakatan para shahabat atas keimaman Abu Bakar dan persetujuan mereka, sewaktu beliau masih menjabat, akan digantikan jabatan khalifah oleh Umar r.a.
Syarat-syarat Ijtihad.
Agar seorang mujtahid dapat berijtihad, dan hasil ijtihadnya berkualitas, maka ia harus memiliki syarat-syarat :
A. Mengetahui nash-nash Alquran perihal hukum syara yang dikandungnya, ayat-ayat hukum dan cara mengistinbath daripadanya. Juga mengetahui asbab al-nuzul, ta'wil, dan tafsir dari ayat-ayat yang akan diistinbath.
B. Mengetahui nash-nash hadits, yakni mngetahui hukum syar'i dari hadits dan mampu mengeluarkan hukum / istinbath daripadanya, disamping harus mengetahui nilai dan derajat hadits.
C. Menguasai ilmu bahasa Arab dengan segala cabangnya; ilmu nahwu, sharaf, balaghah dal dll, juga ditunjang dengan seluk-beluk kesusastraan Arab baik prosa ( natsar) maupun syair (nadham), dan tahu antara 'aam - khash, haqiqat - majaz, mutasyabih - muhkam. dan lainnya.
D. Mengetahui maqashid al-syar'iyyah, tingkah laku dan adat kebiasaan manusia yang mengandung mashlahat dan madharat, sanggup mengetahui illat hukum, dapat mengqiyaskan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya hingga menetapkan hukum sesuai dengan maksud syariat dan kemaslahatan umat.
E. Mengetahui ilmu Ushul Fiqih, sebagai ilmu metoda isthinbath, metoda menemukan dan menterapkan hukum, agar hukum hasil ijtihad lebih mendekati kepada kebenaran.
F. Memiliki akhlak terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad
Yang harus dilakukan mujtahid dalam berijtihad
Seorang mujtahid dalam berijtihad, hendaklah pertama kali ia memperhatikan nash-nash Alquran dan Al-sunnah dan mengetahui hukum mathuq dan dan mafhum dari keduanya, lalu memperhatikan pada perbuatan nabi/ hadits fi'li, jika ia tidak menemukan dari perbuatan Nabi saw., lalu memperhatikan taqrir Nabi terhadap shahabatnya,
lalu selanjutnya memperhatikan Qiyas juga ijma shabat, jika semuanya mendapat kesulitan maka berpegang sesuai aslinya atau tidak berkomentar.
Dan jika mujtahid mendapatkan dua dalil yang berlawanan, hendaknya;
A. Menjama'kan kedua nash yang menurut lahirnya berlawanan. Jika usaha ini berhasil, maka tidak terjadi ta'arudh / berlawanan pada hakikatnya.
B. Mentarjihkan salah satunya, dengan menggunakan ilmu tarjih, mencari mana yang kuat dan mana yang kurang kuat. Jika usaha tidak berhasil lakukan..
C. Meneliti sejarah datangnya kedua nash, untuk ditentukan yang datang kemudian / belakangan sebagai nasikh atau penghapus terhadap yang datang lebih awal.
D. Membekukan ( tawaqquf) , untuk beristidlal dengan kedua nash tersebut dan berpindah beristidlal dengan dalil lain bila usaha yang berturut-turut tidak tercapai.
Macam-macam mujtahid
Menurut Abu Zahrah, mujtahid itu ada beberpa tingkatan, sesuai dengan luasnya dan sempitnya cakupan bidang ilmu, yaitu;
A. Mujtahid fi syar'i
Yaitu orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah syari'at yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Merekalah yang membangun mazdhab, dan berijtihad dengan hasil sendiri.
Mereka itu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Au'zai dll.
B. Mujtahid al-Muntasib
Yaitu mujtahid yang hasil ijtihadnya mengikuti pendapat Imam terdahulu dalam hal asal / pokok, dan berbeda dalam hal cabang. Mujtahid ini seperti Abdurahman bin al-Qasim, dalam madzhab Maliki, Muhammad ibnu Hasan dalam madzhab Syafi'i.
D.Mujtahid fi Madzhab
Mujtahid yang hasil ijtihadnya tidak membentuk madzhab tersendiri, akan tetapi mereka hanya mengikuti Imam madzhab yang telah ada , baik dalam masalah yang pokok atau masalah cabang, Pekerjaan mereka dalam berijtihad adalah mengeluarkan hukum / istinbath dari masalah yang tidak diriwayatkan oleh Imam.Mereka itu, mengkhususkan kepada qaidah-qaidah yang telah ditetapkan imam-imam terdahulu, mengistinbath hukum yang tidak dinashkan dalam qaidah-qaidah lama, mengembangkan dasar-dasar madzhab, dan meletakan dasar-dasar tarjih, dan perbandingan di antara pendapat. Misalnya Imam Abu Yusuf adalah mujtahid pada madzhab Hanafi, Imam al-Muzani mujtahid pada Imam Syafi'i.
D.Mujtahid al-Murajjih
Yaitu mujtahid yang tidak mengistinbath hukum-hukum cabang yang tidak diijtihadkan oleh yang terdahulu, tapi Mujtahid itu hanya melakukan tarjih, dengan membandingkan antara satu pendapat dengan pendapat lain dari yang terdahulu, mereka menetapkan sebagian pendapat yang kuat dan yang lemah dengan argumen qaidah tarjih. Disampimg itu ada mujtahid yang tidak jauh berbeda dengan tingkatan ini, yaitu mereka membandingkan antara pendapat dan riwayat, mereka menetapkan bahwa pendapat ini lebih jelas dan lebih kuat dalilnya dari yang lain. Ini dilakukan agar bagian-bagian tersebut tidak tertukar antara yang satu dengan lainnya.
D.Tingkatan Muhafidh
Yaitu mereka yang dapat membedakan antara yang lebih kuat dari yang kuat dan yang lemah, riwayat yang dhahir, madzhab yang dhahir, riwayat yang jarang. Maka pekerjaan mereka itu bukan melakukan tarjih, tapi mengetahui mana yang kuat, dan menyususn derajat-derajat tarjih sesuai yang telah dilakukan oleh pentarjih.
E. Tingkatan Muhafidh
Yaitu mereka yang dapat membedakan antara yang lebih kuat dari yang kuat dan yang lemah, riwayat yang dhahir, madzhab yang dhahir, riwayat yang jarang. Maka pekerjaan mereka itu bukan melakukan tarjih, tapi mengetahui mana yang kuat, dan menyususn derajat-derajat tarjih sesuai yang telah dilakukan oleh pentarjih.
F. Tingkatan Muqallid
Tingkat ini yang paling rendah dari tingkatan yang telah lalu, yaitu mereka yang mampu membaca dan memahami kitab-kitab, tapi tidak mampu melakukan tarjih atau menentukan mana yang kuat antara pendapat, riwayat, dan tidak mendatangkan ilmu karena tidak mampu menentukan dan membedakan tingkatan-tingkatan tarjih. Mereka tidak bisa membedakan antara kanan dan kiri, tapi hanya mengumpulkan apa yang mereka temukan. Menurut Ibnu 'Abidin pada masa terakhir ini atau juga sekarang banyak yang seperti ini, mereka beribadah mengikuti apa yang terdapat dari kitab-kitab tidak lebih dari itu, mereka tidak dapat membedakan antara dalil-dalil, antara pendapat dan riwayat-riwayat.
Alasan Ijtihad menjadi hujjah
Alasan ijtihad dapat jadi hujjah berdasar kepada:
A. Alquran
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS.An-Nisaa:59)
Yang dimaksud dengan mengikuti Allah dan Rasulnya dalam ayat tersebut adalah mengikuti yang telah ditetapkan dalam Alquran dan As-Sunnah, dan yang dimaksud dengan mengembalikan kepada Allah dan Rasulnya, ialah menghindari untuk mengikuti hawa nafsu, tapi kembali kepada yang telah disyariatkan Allah dan Rasulnya, dengan jalan meneliti nash-nash yang kadang-kadang tersembunyi atau hilang dari perhatian menerapkan qaidah-qaidah umum atau merealisir maqasid al-syariah.
B. Al-Hadits
“Ya Rasulallah ! perkara datang kepadaku yang Alquran tidak menurunkan ketentuannya, dan tidak ada Sunnah dari Tuan ? Ia menjawab : Kumpulkan orang-orang 'Alim (atau ahli ibadah) dari orang-orang mu'min, lalu bermusyawarahlah di antara kamu dan jangan kamu putuskan dengan pendapat salah seorang.”
إذا حكم الحاكم فاجتهد، ثم أصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد، ثم أخطأ فله أجر
“Jika hakim berijtihad , lalu benar maka baginya dua ganjaran dan jika salah maka baginya satu ganjaran.”
Abu Dawud meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Dengar dan taat adalah kewajiban seorang muslim, suka atau tidak suka, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
C. Logika.
Sebagaimana kita ketahui bahwa nash-nash Alquran dan hadits terbatas jumlahnya, sedang peristiwa yang dihadapi manusia selalu timbul dengan tidak terbatas. Oleh karena itu tidak mungkin nash-nash yang terbatas jumlahnya itu mencukupi untuk menghadapai peristiwa-peristiwa yang terus terjadi, selagi tidak ada jalan untuk mengenal hukum peristiwa baru tanpa melalui ijtihad.
Dan jika hukum tersebut belum nampak baginya, maka ia wajib untuk tawaqquf dan boleh baginya untuk bertaqlid ketika itu karena darurat.
kiranya itu yang bisa saya pahami,jika ada salah kata saya mohon beribu maaf..
"Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika"
"Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagiMu, aku bersaksi bahwa tiada ilah selain Engkau aku mohon ampun dan bertaubat kepadaMu"
Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina 'adzabannar..
walhamdulillahi robbil Allamin..
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Posting Komentar
isi komentar anda dengan bijak